Jurnalkitaplus - Gelombang otomatisasi berbasis kecerdasan buatan (AI) kini semakin nyata mengancam keberadaan pekerja pemula di berbagai sektor. Data terbaru menunjukkan bahwa perempuan dan pekerja muda menjadi kelompok yang paling rentan terdampak, seiring perusahaan-perusahaan global mempercepat adopsi teknologi generatif ini.
Perempuan Alami Ancaman Lebih Besar
Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dirilis September lalu mengungkapkan bahwa 27,6% pekerjaan yang dipegang perempuan secara global berpotensi tergantikan oleh AI, lebih tinggi dibandingkan 21,1% pekerjaan yang ditekuni laki-laki. Pekerjaan di bidang administrasi, layanan publik, dan pekerjaan clerical—yang didominasi perempuan—menjadi target utama otomatisasi.
PBB memperingatkan risiko ketimpangan baru jika dunia tidak belajar dari kesalahan masa lalu. Di negara-negara berpenghasilan tinggi, perempuan bahkan hampir tiga kali lebih besar kemungkinannya untuk kehilangan pekerjaan akibat AI dibandingkan laki-laki. Ironisnya, perempuan juga masih sangat kurang terwakili di ranah teknologi yang menjadi “benteng” utama dari disrupsi AI, dengan proporsi hanya 29% di sektor tenaga kerja global teknologi dan 14% di posisi kepemimpinan teknologi.
Pengangguran Kaum Muda Meningkat
Pekerja muda menjadi kelompok berikutnya yang langsung merasakan dampak gelombang AI. Studi Universitas Stanford pada Agustus lalu mencatat, jumlah pekerja usia 22-25 tahun di pekerjaan yang terpapar AI menurun hingga 13% sejak akhir 2022. Sementara itu, pengembang perangkat lunak muda mengalami penurunan pekerjaan hampir 20%.
Fenomena ini semakin terlihat di Kanada, di mana tingkat pengangguran pemuda usia 15-24 tahun mencapai 14,7% pada September 2025—tertinggi dalam 15 tahun terakhir di luar masa pandemi. Statistik Kanada juga mencatat lonjakan pengangguran di kalangan pelajar hingga 3,1 poin persentase dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
“Pekerjaan tingkat pemula, yang dulunya tidak terlalu rumit, kini makin banyak digantikan otomatisasi,” kata Profesor James O'Brien dari University of California, Berkeley. Ia menambahkan, di sejumlah organisasi besar, AI kini menghasilkan setidaknya 20% kode perangkat lunak.
Pekerjaan Entry-Level Jadi Sasaran Utama
Laporan World Economic Forum mengungkap, 50%-60% tugas rutin pekerja junior seperti menyusun laporan, merangkum riset, memperbaiki kode, hingga membersihkan data sudah bisa dilakukan AI. Di luar sektor teknologi, survei British Standards Institution menemukan 41% pemimpin bisnis di ekonomi utama dunia sudah menggunakan AI untuk melakukan pemutusan hubungan kerja. Sebanyak 43% di antaranya memprediksi akan mengurangi posisi junior dalam setahun ke depan.
Kondisi ini menunjukkan ancaman nyata bagi karier jangka panjang pekerja muda dan perempuan, terutama pada tahap awal perjalanan profesional mereka. Jika tidak ada upaya penyesuaian keterampilan dan kebijakan proteksi sosial yang memadai, gelombang otomatisasi AI berpotensi memperlebar ketimpangan dan menambah beban pengangguran di masa depan. (FG)

.jpg)